Jumat, 30 Mei 2008

Berhenti sejenak

Pagi ini...
Aku mengingatkan diriku untuk tersenyum
Tersenyum dari hatiku
Dan menyebar ke seluruh sel dan jaringan dalam tubuhku

Pagi ini...
Aku mengingatkan diriku untuk melepaskan emosiku
Dan membiarkannya sejenak
Hingga ku siap menghadapi dunia

Aku ingin merasakan keheningan ini

Biarlah setiap detakan jantungku...
Biarlah setiap aliran darahku...
Biarlah setiap hembusan nafasku...

Membuatku merasakan tubuhku
Dan setiap pengorbanan sel-sel dalam metabolisme hidupku

Label:

Aku menantimu

Kakak...
Sekarang kau ada di mana?
Apa yang sedang kau lakukan sekarang?

Kakak...
Cepatlah kau hadir dalam hidupku
Dan, kalaupun kau sudah hadir
Berilah tanda...
Agar aku tahu kalau kau ada di sini
Bersamaku

Kakak...
Kenapa air mata ini terus saja mengalir?
Aku tidak ingin terus menangis
Tapi...
Air mata ini tidak mematuhiku rupanya

Kakak...
Aku butuh dukunganmu dalam menjalani hidupku
Cepatlah datang kakak...
Aku menantimu

Label:

Pasrahku

Diantara denting jarum jam yang bergayutan
Diantara tetesan peluh yang membasahi mukaku
Aku berkutat dengan waktu

Lelaki berbaju putih itu berkata
” Maaf, Anda positif kanker stadium empat. Sayang sekali, tidak ada stadium lima. Dan umur anda tinggal tiga bulan lagi.”

Enak saja memprediksi umur manusia
Memangnya siapa dia?
Dia bukan Tuhan!

Aku tidak akan menyerah begitu saja
Hanya karena ku tahu sisa waktuku
Bukankah semua orang akan mati?

Aku tidak lemah!
Tapi airmata ini...
Tak mematuhiku rupanya
Ia terus saja mengalir tanpa bisa kukendalikan

Kakiku gontai
Sayup-sayup kudengar suara-suara penyeru-Mu
Entah kenapa kali ini terdengar indah
Terus menggetarkan gendang telingaku

Oh, Robb..
Inikah saatnya..
Biarkan aku mengambil wudhu terakhirku
Biarkan aku menegakkan sholat terakhirku

Aku pasrah
Dalam tidurku.

Label:

Ah, kau lagi!

Sudah kubilang bukan?
Jauhi aku!
Kenapa kau tak menurut juga?

Aku tak ingin kau ada
Apalagi menjadi bagian tubuhku
Aku tidak suka memilikimu

Kau tidak lihat pandangan mereka?
Ketika mereka melihatku, mereka juga melihatmu
Dan kurasa sebenarnya mereka tidak benar-benar melihatku

Mata mereka malah lebih suka mengamatimu
Lidah mereka malah lebih suka membicarakanmu
Ketika mereka ada di sampingku

Dengar!
Aku tidak suka kau ada di wajahku
Kau menyakitiku!
Menyakiti raga dan jiwaku

Dasar jerawat!
Ah, kau lagi!

Label:

Ya, Aku Istimewa

Aku adalah aku
Aku istimewa karena keunikanku
Tiada orang lain yang sepertiku

Biarpun orang bilang aku bodoh
Biarpun orang bilang aku jelek
Biarpun orang bilang aku miskin

Apapun yang orang bilang tentangku
Aku tak peduli!

Kau tahu kenapa?
Ya, karena aku istimewa
Aku memiliki jenis otak kedua
Yang selalu memberiku semangat Untuk bangkit ketika ku jatuh

Ya, aku istimewa!

Label:

Merentas Makna

Aku berlari dan terus saja berlari
Aku tak ingin berhenti
Meskipun kakiku sudah tak kuat lagi
Meskipun nafasku menderu menyisakan ngilu

Hey, aku punya sayap!
Saatnya aku terbang jauh.. jauh tinggi
Meninggalkan segala kepahitan
Membuang segala kejenuhan

Aku sudah berlari jauh
Aku juga sudah terbang tinggi
Tapi ia terus saja ada dalam hidupku
Kenapa kau tak pergi saja?

Aku hanya ingin makna!
Aku hanya ingin rasa!

Label:

Aku Mencintaimu, Ibu

Ibu...
Kau adalah matahariku
Yang menerangi dunia dengan cahayamu
Yang menyinari bumi dengan kehangatanmu
Karena itulah
Aku mencintaimu

Ibu...
Kau adalah sumber mata airku
Yang meredakan dahagaku dengan kebijaksanaanmu
Yang menyejukkan jiwaku dengan ketulusanmu
Karena itulah
Aku mencintaimu

Ibu...
Kau adalah bumiku
Yang menjadi tempatku berteduh
Yang menjadi tempatku bertumbuh
Karena itulah
Aku mencintaimu

Ibu...
Ada banyak alasan
Kenapa aku mencintaimu
Tapi anehnya,
Tak butuh alasan bagimu
Untuk mencintaiku

Label:

Sudut Hatiku

Aku heran
Ketika rasa itu
Menyelusup di dada
Aku tak tahu kapan
Pertama kali aku sadar

Karena tiba-tiba saja
Sudah kudapati ia di sana
Berada di lubuk terdalamku
Seolah-olah,
Ia adalah bagian darinya

Aku masih heran
Ketika rasa itu
Menusuk indah
Tepat di jantungku
Membuatku bimbang
Antara akal dan rasa

Aku bahagia
Tapi,
Di saat yang sama
Aku takut
Takut rasa itu
Jadi di luar kendaliku

Maka,
Biarkan aku sejenak
Menderas…
Mengadu…
Dalam sujud panjangku.

Label:

Kamis, 29 Mei 2008

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna (Ending)

Bagian 4

Eri memandang jendela bus dengan tatapan kosong. Ia tidak bisa tidur. Padahal ia paling tidak bisa menahan kantuk jika sudah berada di dalam bus yang ditumpanginya. Ia terlonjak ketika ada yang menepuk pundaknya.

”Kamu Eri, kan?” kata sosok perempuan berjilbab yang berdiri di sampingnya.

”Yah, seingat saya begitu,” sahut Eri.

”Kamu ini nggak berubah, ya, ” timpal perempuan berjilbab sambil duduk di bangku kosong di samping Eri.

Perempuan berjilbab itu bernama Zida. Zida adalah teman sebangku Eri waktu SD. Namun, mereka harus berpisah setelah lulus SD karena orangtua Zida pindah ke Malang. Dulu, Eri dan Zida bagaikan dua sisi dalam satu koin. Berlainan, tapi tak bisa dipisahkan. Kalau diibaratkan, Eri adalah perwujudan api yang penuh semangat membara dan Zida adalah perwujudan air yang mengalir tenang dan menyejukkan. Mereka sama-sama bekerja sama dalam dunia kejahilan.

Itu setelah Zida berteman akrab dengan Eri. Sebelumnya, Zida adalah gadis minder dan pemalu. Penampilannya feminim, bertolak belakang dengan Eri. Tapi, bukannya menjadi penghambat, justru perbedaan itulah yang membuat mereka lengkap. Eri sangat pandai dalam matematika dan ilmu eksak lainnya, tetapi sangat lemah kalau menghadapi pelajaran hafalan seperti sejarah. Bagi Eri sejarah itu membosankan. Sedangkan Zida sangat menyukai sejarah. Hal itu sering dimanfaatkan Eri yang sangat tidak suka menghafal tahun-tahun atau peristiwa-peristiwa.

Eri selalu cemberut jika disuruh Emak melakukan hal-hal berbau kewanitaan. Mencuci, menjahit, apalagi memasak. Tapi Eri akan sangat gembira kalau Emak menyuruhnya memanjat pohon kelapa atau memperbaiki genteng yang bocor, kalau Bapak sedang melaut. Sedangkan Zida, akan dengan senang hati membantu Eri menjahit kancingnya yang copot, atau mengerjakan tugas merajut dari guru kesenian. Dan sebagai balasannya, Eri akan menjadi pengawal dan pelindung Zida di sekolah. Sejak mereka berteman, tidak ada lagi anak laki-laki yang menggoda Zida. Kebanyakan mereka takut dijotos Eri. Zida memang cantik sejak kecil. Kulitnya putih, rambutnya panjang dan halus. Banyak anak laki-laki yang menyukainya. Bahkan, ketika mereka sendiri belum mengerti arti cinta.

Sekali lagi, itu dulu. Sekarang Zida tampak berbeda di mata Eri. Lebih anggun dan ceria. Eri heran, kenapa rambut indah Zida harus ditutup dalam balutan kerudung. Zida tersenyum. Zida menangkap arti tatapan Eri yang kaget sekaligus keheranan melihat sosoknya yang baru.

”Kenapa? Heran melihat aku tambah cantik?” canda Zida memecah kesunyian.

Eri tersenyum, lalu membalas, ”Bukannya kamu yang heran melihat aku jadi cantik?”

Zida melihat rok yang dipakai Eri. Sebenarnya Emak yang membelikan. Jadi, terpaksa dipakainya. Mereka tertawa. Melanjutkan menanyakan kabar dan mengobrol mengenang masa lalu. Rupanya Zida ke Gresik, menengok buleknya yang baru melahirkan. Zida menangkap sesuatu dari mata Eri. Mata coklat itu tidak biasanya sendu. Selama ia mengenal Eri, ia hanya mendapati matanya bersinar bahagia atau berkilat nakal ketika akan berbuat jahil. Tidak pernah Zida melihat mata Eri yang ini.

Zida memegang tangan Eri dan berkata, ”Ri, kamu ada masalah? Ada yang mau kau ceritakan?”

Eri menggeleng. Tapi ia tahu kalau Zida tahu ia berbohong. Eri tak dapat lagi menahan air matanya. Zida memeluknya. Semua yang ia dengar dari Bapak ia ceritakan kembali pada Zida. Di akhir ceritanya dengan ragu-ragu Eri berkata, ”Zid, apakah aku ini anak haram? Apa yang harus aku lakukan, Zid? Apakah Allah akan memaafkan semua dosaku karena perbuatan orangtua kandungku?”

Zida tetap mengenggam tangan Eri. Dengan tenang ia mengatakan, ”Ri, tidak ada yang namanya anak haram. Kamu tidak salah. Ibumu juga tidak. Karena ibumu adalah korban. Yang salah adalah ayahmu dan keluarga ibumu. Tapi, kita tidak akan membicarakan kesalahan mereka di sini.”

Zida membenahi posisi duduknya tepat menghadap Eri, lalu melanjutkan, ”Dalam Surat Al Baqarah, ayat 286 Allah SWT berfirman: "Kepada dirinya apa yang ia kerjakan, dan atas dirinya apa yang dia lakukan." Maksudnya, baik dan buruknya suatu perbuatan, harus ditanggung sendiri oleh yang mengerjakannya, tidak boleh dibebankan atas orang lain.

Kemudian dalam Surat Al Isra', ayat 15: "Dan seseorang tidak berkuasa memikul dosanya orang lain. Dalam Surat An Najm, ayat 38 dan 39: "Bahwa seseorang tidak berkuasa menanggung dosanya orang lain dan sesungguhnya seorangpun tidak akan menerima pahala melainkan daripada perbuatannya sendiri." Karena itu Ri, dalam Islam tidak ada yang namanya dosa warisan. Semua bayi terlahir suci. Seorang anak tidak akan menanggung dosa yang dibuat oleh kedua orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Surat Luqman, ayat 33 menyebutkan: "Hai Manusia hendaklah kamu takut kepada suatu hari (kiamat) seorang bapak tidak berkuasa membebaskan anaknya (dari perbuatan anaknya), seorang anak tak akan berkuasa membebaskan perbuatan bapaknya."

Ayat-ayat yang aku sebutkan tadi jelas sekali menunjukkan bahwa seseorang tidak berkuasa menebus dosanya atau mengambil oper pahala orang lain. Jadi dalam Islam, tidak ada manusia yang berkuasa menebus dosa, atau seorang pejabat menebus dosa, perbuatan baik atau jahat harus ditanggung sendiri oleh yang mengerjakannya.”

Zida memandang Eri yang masih menyimpan keraguan. “Tapi, Ri, ada yang bisa kamu lakukan.”

Eri bimbang, ”Apa itu, Zid?”

”Begini, seseorang memang tidak bisa memikul beban dosa orang lain, atau mentransfer pahala perbuatannya kepada orang lain. Tetapi, dalam sebuah hadist, yang InsyaAllah isinya, Telah putus amal ibadah seorang muslim kecuali disebabkan tiga perkara. Yaitu, ilmu yang bermanfaat, shodaqah jariyah, dan do’a dari anak yang sholeh atau sholehah.

Karena itu, Ri. Kamu masih punya kesempatan untuk mengirim do’a pada ibumu. Dan juga pada ayahmu, entah masih hidup atau sudah tiada. Satu lagi, Ri. Sebenarnya kamu ini gadis yang kuat. Karena Allah tidak pernah memberi ujian kepada hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Itu berarti, kamu dipilih oleh Allah untuk menerima ujian ini karena kamu adalah manusia yang kuat. Yang aku yakin kalau ujian ini didatangkan padaku, belum tentu aku sanggup menerimanya.”

”Aku tidak sehebat itu, Zid. Aku ini anak nakal,” Eri mengingat kembali semua ulahnya yang sering membuat orang jengkel.

”Nakal, tapi cerdas,” sahut Zida.

Eri tersenyum. Untuk sesaat Eri merasa tenang. Ia bersyukur telah dipertemukan dengan Zida.

”Kamu tahu, apa definisi orang kuat?” tanya Zida

Eri menggeleng. ”Apa?”

”Orang kuat adalah orang yang akan segera bangkit setelah dia terjatuh. Dan akan menghadapi dunia dengan kepala tegak dan senyum mengembang,” zida berdeklamasi.

Mereka kembali tertawa. Zida bisa melihat mata sendu Eri sudah lenyap dan digantikan mata coklat menawan yang selama ini dia kenal. Kernet memanggil penumpang yang berhenti di pertigaan. Di sana berjejer bus-bus jurusan Malang. Sebelum turun dari bus untuk berganti bus jurusan Malang, Zida memberikan kartu namanya pada Eri. Mereka berpelukan dan saling mengucap salam perpisahan. Semoga bisa berjumpa lagi.

Sejenak Eri bisa melupakan masalahnya. Tapi ketika sosok Zida berlalu ia kembali murung. Eri ingin segera sampai di kamar kosnya. Tiba di Terminal Oso Wilangon, Eri berganti angkot WK untuk turun di Pacar Keling. Terakhir, Eri naik angkot T2 yang akan menurunkannya tepat di depan gang kosnya.

Setelah membuka pintu kamarnya, Eri terhenyak. Baru kali ini dadanya bergetar mendengar alunan Adzan Maghrib. Selama ini, adzan baginya tidak berarti apa-apa. Eri beranjak mengambil wudhu. Kos-kosan sepi. Mungkin belum ada yang balik dari kampungnya selain dia. Ia kemudian meraih mukenahnya kemudian mengangkat tangan untuk bertakbir. Di akhir rakaat sholatnya, Eri bersimpuh di atas sajadahnya. Menderas. Mengadu pada Sang pemilik hati.

“Kini aku semakin menyadari bahwa Sang Kuasa jauh lebih mencintaiku dari pada cintaku pada diriku sendiri. Bahwa Sang Pencipta menyayangiku dan hanya ingin memberikan makna hidup yang terbaik dalam pengembaraan hidupku. Karena itu… aku akan berbuat yang terbaik dalam hidupku, “ di akhir doa’anya, Eri bertekad.

Label:

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna (3)

Bagian 3

Pukul empat sore, hujan mulai reda. Eri bersiap untuk berangkat ke kota tempatnya menuntut ilmu. Eri kuliah di sebuah universitas negeri di Surabaya. Hanya karena mendapat beasiswa, Eri bisa kuliah. Bapak dan Emak tidak punya cukup uang untuk membiayai kuliahnya. Meskipun terkenal nakal dan jahil, Eri memiliki otak yang cerdas. Selain itu, Eri berbakat memikat orang lain dengan kata-katanya. Eri tidak akan kehabisan bahan pembicaraan dengan orang lain. Eri memang cepat akrab dan menyesuaikan diri. Bisa dibilang dia memiliki bakat SKSD, atau Sok Kenal Sok Dekat. Pernah guru Bimbingan Konselingnya di SMA, menasehatinya untuk memilih jurusan Komunikasi atau Hubungan Internasional. Eri berbakat di dunia politik maupun kediplomatan. Tetapi, Eri lebih memilih jurusan yang membuatnya merasa bahagia, seperti di desanya sendiri. Jurusan Biologi lah yang dipilih Eri.

Sebelum berangkat, Eri berinisiatif untuk buang air kecil, sebelum kerepotan nanti di jalan. Eri menuju kamar mandi di dekat dapur dan melewati kamar Emak dan Bapak. Sejenak Eri berhenti ketika mendengar namanya disebut.

Eri menempelkan kupingnya ke pintu kamar orangtuanya yang terbuat dari papan. Terdengar oleh Eri suara Emak, ”Ndak terasa, dua puluh tahun telah berlalu. Dan sekarang Eri sudah besar ya, Pak.”

”Iya, Bu. Bapak sangat bersyukur punya anak seperti Eri,” timpal Bapak.

Eri yang mendengar pujian itu ditujukkan untuk dirinya, tersenyum bahagia. Kemudian terdengar suara lemari dibuka.

”Emak juga bersyukur, Pak. Meskipun Eri bukan anak kandung kita, tapi Emak sayang sekali sama anak itu. Jahilnya, itu lho, ngangenin.”

Bapak tertawa. Tapi hati Eri sakit. Sakit sekali. Jadi, dia bukan anak kandung Emak dan bapak? Lalu, siapa orang tua kandungnya? Eri terpaku hingga tak sadar pintu kamar telah terbuka. Emak dan Bapak kaget bukan main melihat anak mereka mendengar rahasia yang selama ini sudah mereka sembunyikan.

Ketiga orang itu duduk mengelilingi meja makan di dapur. Tidak ada yang bicara. Eri ingin sekali berteriak, tapi tenggorokannya tercekat. Kemudian Bapak memulai pembicaraan, “Begini, ndhuk. Kamu jangan salah paham dulu. Emak dan Bapak sangat menyayangi kamu.”

“Eri tahu, Pak. Eri tak pernah sedikitpun meragukan itu. Eri Cuma ingin tahu, siapa sebenarnya orang tua kandung Eri!” Tak sadar Eri berteriak. Sebelum ini, tak pernah sekalipun Eri berani membentak orang tuanya. Sejahil apa pun Eri, tak akan pernah ia berani berkata keras pada orang tuanya.

Bapak menghela napas. Emak mulai berkaca-kaca.

”Baiklah, Bapak akan menceritakan segalanya padamu, ndhuk. Dua puluh satu tahun yang lalu, kami masih bekerja di sebuah rumah milik keluarga Sukarta di Surabaya. Emak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dan Bapak sebagai sopir. Semuanya baik-baik saja, hingga suatu hari terjadi pertengkaran hebat antara Tuan Besar dengan Non Liana. Non Liana dipukul oleh Tuan Besar dan diseret keluar dari rumah. Non Liana diusir dari rumah karena hamil diluar nikah. Emak dan Bapak tidak tega melihat Non Liana diperlakukan seperti itu. Selama ini, Non Liana selalu baik sama kami, berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain, yang sering memperlakukan kami seperti budak.

Kami tidak percaya Non Liana yang selalu rajin sholat bisa berbuat seperti itu. Kemudian kami membawa Non Liana pergi ke rumah orang tua Bapak di desa ini. Kebetulan rumah ini kosong setelah ditinggalkan oleh penyewa sebelumnya. Kami merawat Non Liana hingga kandungannya membesar. Selama dia tinggal di sini, Non Liana tidak pernah tersenyum. Dia selalu terlihat murung. Kami tidak tega melihat Non Liana seperti itu. Saat kandungannya sudah mencapai hampir sembilan bulan, tiba-tiba kami harus melayat ke kampung sebelah, terpaksa Non Liana kami tinggalkan sendiri. Kami pikir, kami hanya sebentar di sana. Saat kami kembali, ternyata Non Liana sudah melahirkan kamu, ndhuk. Tanpa bantuan bidan maupun dukun beranak. Kami jadi merasa sangat bersalah telah meninggalkannya.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Non Liana mengatakan sesuatu pada kami bahwa kami harus memberi nama kamu Eri, seperti yang tertulis di kalungmu itu. Non Liana bersumpah bahwa dia tidak pernah berzina. Dia diperkosa. Tapi orang tuanya tidak mau tahu. Orang tuanya malu kalau aib itu sampai ketahuan orang lain. Non Liana tidak kenal siapa laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya. Tapi, Non Liana berhati besar. Dia tidak pernah sekalipun berniat menggugurkan kandungannya. Baginya, bayi adalah makhluk suci yang tidak bedosa. Ibumu orang baik, ndhuk.” Bapak mengakhiri ceritanya. Emak menangis tersedu sedan. Eri bingung harus berkata apa. Ia, anak hasil perkosaan? Ya, Allah inikah hukuman atas semua kenakalan dan kejahilanku? Eri menangis dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Eri marah. Eri ingin sekali membunuh laki-laki itu. Yang menyebabkan penderitaan ibu kandungnya. Ibu? Eri bahkan tidak tahu wajahnya. Eri tidak pernah mengenalnya.

Eri mendongak menatap kedua orang yang sudah dianggapnya orang tua kandung. Emak masih menangis dan Bapak kelihatan berkaca-kaca. Eri masih marah, tapi ia mulai menguasai dirinya. Bibir Eri bergetar saat bicara, ”Pak, apakah Bapak punya foto ibu kandung Eri?”

Bapak terkaget mendengar ucapan Eri. Bapak kira, Eri akan mengamuk atau memarahi mereka karena menyembunyikan semuanya ini darinya setelah sekian lama. Bapak beranjak dari kursi dan menuju kamarnya. Saat kembali, Bapak membawa selembar kertas usang yang pinggirnya sudah sobek-sobek. Bapak menyerahkan foto itu ke tangan Eri. Eri menerimanya dengan tangan gemetar. Eri membalik foto itu dan melihat seorang perempuan cantik dengan memakai toga. Kulitnya putih, berbeda dengan kulit Eri. Tapi, matanya. Matanya sama dengan mata Eri. Mata coklat yang menawan. Inikah ibunya? Air mata Eri membasahi kertas itu.

Suara klakson sepeda motor, memecah keheningan. Eri bangkit di ikuti Bapak dan emak.

”Bolehkah Eri menyimpan foto ini, Pak?” kata Eri sambil menghapus air matanya. Bapak mengangguk pelan.

Sesampainya di pintu depan Eri berbalik dan berkata, ” Terima kasih, Pak, Mak. Atas semuanya. Eri minta maaf kalau selama ini Eri sering berbuat salah sama Bapak, terutama Emak.” Tangis Emak pecah lagi.

”Jangan bicara begitu, ndhuk. Kami ini masih orang tuamu. Setidaknya orang tua yang membesarkanmu. Kau lebih dari seorang anak bagi kami. Kau permata hidup kami.” Emak berkata di sela-sela tangisnya.

Eri tak tahan lagi. Eri keluar rumah dengan memanggul ranselnya yang menggelembung. Berisi beberapa potong baju dan bukunya, serta segala macam makanan yang bisa dijejalkan Emak ke dalamnya. Eri mencium tangan Emak dan Bapak dengan takzim, sebulan lagi Eri baru bisa mencium tangan-tangan itu lagi. Air mata Emak bercucuran, mata Eri berkaca-kaca. Eri cepat-cepat menaiki ojek yang sudah di pesan oleh Bapak. Sebelum berbelok, Eri menoleh ke belakang, menyaksikan bahu Emak berguncang dalam rangkulan Bapak. Bapak melambaikan tangan. Eri tak kuasa menahan bulir-bulir air hangat menetes di pipinya.

Dalam perjalanannya menyusuri desa, Eri merasakan sekali lagi aroma desanya. Sawah-sawah yang terbentang. Tambak-tambak ikan dan garam di kanan kiri jalan. Warung-warung kecil yang sepi. Dan peternakan ayam yang bau pun nampak indah di matanya. ”Ah, selamat tinggal desaku. Sebulan lagi aku akan kembali. Entahlah apakah aku akan kembali,” katanya pada dirinya sendiri.

Label:

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna (2)

Bagian 2

Pagi hari yang cerah. Eri membuka jendela kamarnya. Spontan, tangan kanannya menutupi mata dari sinar matahari yang menyelusup ke kamar. Ah, alangkah senangnya kalau masa liburan belum habis. Hari secerah ini, paling enak kalau ke pantai. Eri tersenyum memandang jam di dinding. “Ah, masih jam setengah sembilan. Masih banyak waktu untuk berkemas,” pikirnya.

Setiap libur panjang tiba, Eri selalu pulang ke desa yang sudah ditinggalinya sejak lahir. Eri bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Nama desa itu Ujungpangkah. Sebuah desa di ujung timur pulau jawa. Desa ini bisa ditempuh dengan dua jam perjalanan dari Surabaya. Dan tempat favoritnya adalah pantai Ngemboh yang menyisakan banyak kenangan. Pada saat air surut, Eri dan kawan-kawannya suka berenang bersama, mencari keong yang bersembunyi di balik batu karang, atau sekedar menangkapi ubur-ubur yang melayang-layang terseret arus. Kadang-kadang, bapak mengajak Eri menguras perahu setelah melaut semalaman. Setelah itu, Bapak akan mengajak Eri jalan-jalan dengan perahunya menyusuri rawa-rawa. Komunitas mangrove dari berbagai spesies tumbuh lebat di kanan kiri rawa. Di antara pohon bakau banyak ikan blodok melompat dan bermanuver menembus lumpur. Dari berbagai jenis burung yang bisa dijumpainya, Eri selalu takjub dengan burung bangau yang memenuhi paruh panjangnya dengan ikan yang baru ditangkapnya. Di ujung rawa, ada lautan luas yang menyambutnya. Membuatnya merasa kecil di tengah besarnya kuasa Tuhan. Sesekali Eri bisa melihat elang di angkasa. Bapak selalu bilang, laut adalah salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan. Di laut, bapak bisa merasakan penghambaan alam pada Tuhannya. Mulai dari angin, ombak, bahkan tumbuhan dan hewan yang hidup di laut dan sekitarnya. Eri tersenyum mengingat kilas balik masa kecilnya.

Eri berganti baju dan duduk di meja makan di dapurnya yang tidak bisa dibilang luas. Meskipun sederhana, Eri selalu merindukan rumah ini kalau sudah berada lama di kota rantaunya. Yah, walaupun jarak antara desanya dengan kota tempat ia menuntut ilmu cuma dua jam perjalanan, ia tidak bisa sering-sering pulang ke desanya yang indah ini. Biaya transport bolak-balik cukup untuk delapan kali makan. Wah…Eri tidak setega itu pada Emak.

Wis, ndang makan. Arek wedhok, kok, pencilaan aendhukndhuk…” Kata Emak. Eri nyengir. Makan dengan lahap.

“Kamu wis berkemas opo durung?” tanya Emak.

“Entar ae, mak. Aku lagi pengen ke pantai, nih.” jawab Eri sekenanya.

Opo! Kebiasaan kamu, itu! Berkemas dulu, baru jalan-jalan!” Emak mulai habis kesabaran. Eri sudah mau membuka mulut untuk menjawab, tapi Emak keburu menambahkan, “Habis Ashar, kan, kamu sudah harus berangkat. Berkemas sekarang! Kalau tidak, pasti nanti kelabakan. Dan pasti nanti Emak yang repot!”

Eri manyun. Sambil mendengus, ia bergegas ke kamar untuk berkemas. Kali ini ia harus mengalah dan menjalankan semua kata-kata Emak. Kalau tidak, Eri tidak akan bisa ke pantai dan Emak akan mengiringi kepergiannya dengan paket omelan spesial, tapi nggak pake telur.

Eri keluar rumah hendak pergi ke pantai, tapi urung dilakukannya. Eri melihat bapaknya pulang dari melaut. Eri berlari menyongsong bapaknya. Bapak Eri geleng-geleng kepala, menyaksikan tingkah anak perempuannya ini. Salah Bapak juga, pikirnya. Karena terlalu terobsesi memiliki anak laki-laki, Bapak jadi mendidik Eri seperti anak laki-laki. Dan sekarang setelah melihat Eri beranjak dewasa, Bapak jadi menyesal. Apa ada laki-laki yang mau memperistri Eri yah?, pikirnya.

“Woi, Bapak, kok, melamun? Hayo…habis ketemu sama putri duyung ya…sampai linglung githu…” Eri menggoda Bapak.

Eri dan Bapak masuk ke rumah. Emak yang mendengar kedatangan Bapak, segera menyiapkan kopi dan pisang kentaki yang tadi digorengnya. Bapak duduk di meja makan dan menyeruput kopinya.

“Gimana, hasilnya, Pak?” Tanya Emak.

Alhamdulillah, Mak. Ikan yang Bapak tangkap bisa dijual dengan harga seratus dua puluh ribu. Dibagi sama Tarjo, jadi Bapak dapat enam puluh ribu. Cukuplah buat makan dan tambahan uang saku Eri.” jelas Bapak sambil menyerahkan tiga lembar dua puluh ribuan. Karena Bapak pemilik perahu dan jaring, jadi bapak dapat bagian dua per tiga. Bapak mengambil pisang kentaki dan memakannya.

”Wah, enak juga pisangnya, Mak.” Bapak memperbaiki posisi duduknya dan melanjutkan, “Ombaknya lagi besar di laut. Anginnya kencang sekali. Hampir saja perahu Bapak oleng tadi malam.”

Astaghfirullah! Alhamdulillah, Bapak selamat ya, Pak,” sahut Emak.

Eri yang sedari tadi diam, mendengarkan dengan seksama. Di saat-saat seperti ini timbul perasaan kagum pada Bapak. Bapak dengan garis wajah yang tajam serta kulitnya yang coklat tua dan kasar karena terlalu lama terkena sinar matahari dan asinnya air laut, menyimpan keteduhan di matanya. Sebesar atau sekecil apapun hasil tangkapan Bapak, ia selalu bersyukur. Karena itu, Eri berjanji pada dirinya sendiri akan belajar dengan giat.

Eri benar-benar tak jadi ke pantai. Bukan karena Bapak bilang ombaknya sedang besar di laut. Tapi karena Eri ingin lebih banyak menikmati sisa liburan ini bersama orangtua yang sangat dicintainya itu. Emak yang baik hati dan sabar dibalik kecerewetannya. Bapak yang bijaksana dibalik tampangnya yang garang. Ah, rasanya tak ada orang seberuntung Eri. Yang memiliki kedua orangtua seperti mereka. Kesederhanaan dan kesahajaan orang tuanya lah yang membuat Eri tumbuh menjadi gadis periang.

Setelah sholat dhuhur, Eri mengantuk. Kelelahan sehabis berkemas dan membantu Emak di dapur. Hujan tiba-tiba mengguyur desa. Tanpa aba-aba gerimis, atau mendung sebagai peringatan. Emak berlari keluar mengambil jemuran dengan sembarangan. Halilintar menggelegar tanpa tedeng aling-aling. Eri terlonjak saking kagetnya. Sambil memegang liontin bertuliskan namanya yang terkalung di lehernya, ia mencoba mengingat kembali mimpinya. Masih mimpi yang sama. Mimpi tentang sebuah pondok kecil di hutan yang gelap. Ada suara tangisan bayi di sana. Ah, entah apalagi. Eri tak dapat mengingat seluruh sketsa mimpinya. Tapi satu hal yang Eri yakin, suasananya, atmosfirnya sama seperti keadaan cuaca hari ini. Hujan deras disertai petir dan halilintar yang saling berebut untuk memuntahkan gemuruhnya.

Label:

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna

Bagian 1

Awan gelap menyelimuti langit. Air hujan membasahi bumi begitu derasnya. Petir dan halilintar saling berebut untuk memuntahkan gemuruhnya. Laut tidak mau kalah, menyumbangkan ombak yang bergulung-gulung disertai angin kencang yang suaranya menggelegar, mengatasi gemuruh petir maupun halilintar. Nuansa alam yang hadir seolah menemani kelahiran seorang bayi perempuan di sebuah gubuk kecil di tepi pantai. Malam ini, seorang perempuan muda tengah berjuang antara hidup dan mati. Demi sebuah kehidupan baru. Kehidupan yang mungkin tak diharapkan olehnya.

Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya, dengan sekuat tenaga ia hirup udara dan menghembuskannya tanpa makna. Baginya, ini hanyalah spontanitas yang mengiringi naluri seorang ibu. Ibu?. Rasanya ia begitu muak mendengar kata itu. Ia tidak pernah berharap untuk menjadi seorang ibu dari bayi yang tidak diharapkannya. Bayi dari benih seorang lelaki yang telah menghancurkan kebahagiaannya. Merenggut masa mudanya dengan sia-sia. Dan lukapun menganga. Memungkinkan lalat dan kuman berkerumun di sana. Hanya penyesalan dan kebencian yang tersisa.

Lengkingan tangis memecah keremangan malam. Petir dan halilintar kembali bergemuruh menyambut kehidupan baru di bumi. Seorang bayi perempuan yang cantik dan bermata indah telah hadir di dunia menambah satu lagi populasi manusia di bumi. Bayi itu terus saja menangis. Tergolek di atas ranjang bambu tak terjamah. Sepasang suami istri paruh baya terkaget mendapati pemandangan di depan mereka. Yang wanita, segera mengambil bayi yang telanjang dan bergegas memotong tali pusarnya, kemudian membungkusnya dengan kain sarung.

Perempuan muda itu meneteskan air mata sembari memasangkan liontin perak bertuliskan nama ’ERI’ di leher si bayi mungil. Bibir perempuan muda itu bergetar menahan air mata yang sudah mendesak keluar. Kedua pasang suami istri duduk di tepi ranjang bambu ketika perempuan muda itu mengatakan sesuatu yang selama ini tak bisa dikatakannya. Sesuatu yang menjadi sebab semuanya ini terjadi. Tiba-tiba tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Tubuhnya meregang sebelum tak sadarkan diri. Dan entah kenapa si bayi terdiam dari tangisnya. Sementara yang laki-laki, segera mendeteksi denyut di urat nadi perempuan muda. Laki-laki itu mendongak menatap istrinya, menggeleng. Dengan tangan kanannya, ia menutup mata perempuan muda.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Dan bayi perempuan itu kini telah tumbuh menjadi gadis periang dan cerdas.

“Eri…bangun…!” Emak berteriak sekuat tenaga dari dapur. “Duh, anak ini kalau ndak diguyur, ndak bakalan bangun,” tambahnya. Emak mengecilkan kompor, mengambil segayung air dari kamar mandi dan bergegas ke kamar Eri. Eri terbaring di atas ranjang sempitnya sambil memeluk guling. Ngiler. Emak tersenyum dan mulai mengguyurkan air ke mukanya.

“Ah…banjir…!!” teriak Eri lantang sekali. Eri membuka mata, memandang sekeliling dengan heran. “Kok, aku ada di kamar?” pikirnya. Rupanya Eri tak menyadari bahwa sedari tadi Emak berdiri di sampingnya sambil melotot dan berkacak pinggang.

“Mau tidur sampai kapan, HA!” Emak berusaha mengerahkan semua otot matanya untuk berkontraksi. “ Makanya, kalau habis sholat shubuh jangan tidur lagi! Jadi bangunnya ndak kesiangan!” Emak semakin membara.

“Eh, Emak…” Menyadari tanda-tanda bahaya omelan Emak yang bertubi-tubi dan hanya akan selesai tujuh hari tujuh malam, tanpa rasa bersalah Eri berlari melesat keluar kamar sambil menyambar handuk yang tersampir di gantungan baju.

EalahGusti…punya anak perawan satu, kok, bandelnya minta ampun!” keluh Emak sambil geleng-geleng.

Eri keluar dari kamar mandi sambil cengar-cengir mengingat kejadian tadi. Rambutnya yang masih basah dibungkus dengan handuk. Melihat Emak di dapur, mata Eri berkilat. Terpikir olehnya suatu ide hebat untuk membalas Emak. Emak yang tak menyadari otak jahil anak semata wayangnya, menggoreng pisang kentaki – nama khusus yang dibuat Emak untuk menyebut pisang bungkus tepung yang digoreng garing – sambil muroja’ah surat Asy Syams.

Wasyamsi wadhuhahaa…, Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,” Emak menghayati bacaannya. Di belakang Emak, Eri berjalan mengendap-endap. Dalam tayangan lambat, Eri membuka handuknya dan mulai mengibaskan rambutnya yang basah kesana kemari.

Astaghfirullah…Eri!” Emak terlonjak, terkena cipratan air dari rambut Eri. Eri tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Emak yang seperti sudah diduganya, mulai nyerocos. Ngomel bin ngedumel. Secepat kilat, Eri membuka pintu kamar dan menguncinya dari dalam. “Yes! Berhasil!” pekiknya.

Label:

Cerpen: Kerpekan Mini

“Syifaa........cepetan......!” Lani berteriak garang di depan pintu kos Syifa. Syifa terpaksa menyelesaikan sarapannya dengan terburu-buru.

“Ya, bentar.....! Duh, ni anak emang kebangetan. Kalau ujian aja maunya berangkat pagi-pagi. Tapi kalau hari-hari biasa sukanya telat,” omel Syifa tak kalah garangnya. Hari ini Syifa memakai baju lengan panjang berwarna ungu muda, warna kesukaannya. Jilbabnya putih bermotif bunga lavender kecil-kecil berkibar membalut mahkotnya.

Kedua gadis itu bergegas menuju kampus yang tidak jauh dari kosnya. Mia sangat bersyukur mendapat kos di dekat kampus hingga tidak perlu memakan banyak waktu pada saat seperti ini. Mereka tiba di ruang 122 di lantai satu kampusnya. Syifa mengambil kursi di depan dan Lani lebih memilih di deretan bangku ketiga dari depan. Syifa senang karena sebagian besar mahasiswa yang datang duluan telah mengambil tempat di belakang sehingga tempat favoritnya di depan masih kosong.

Hari ini ada ujian mata kuliah Evolusi. Mata kuliah yang paling disenangi Syifa. Dosen memasuki ruangan dan seketika para mahasiswa yang gaduh pun terdiam. Dosen membagikan lembar soal ujian dan jawabannya. Syifa mengamati lembar soal di mejanya. Tipe soalnya Essay, atau jawaban panjang. Ada sepuluh soal yang harus diselesaikan dalam waktu 60 menit. Berarti setiap soal harus diselesaikan dalam waktu enam menit.

Lima menit berlalu semua wajah terpaku di mejanya masing-masing. Sepuluh menit berlalu keadaan masih sama. Lima belas menit berlalu, terdengar gesekan beberapa mahasiswa yang membenahi posisi duduknya. Tiga puluh menit berlalu disaat Syifa tengah memikirkan jawaban untuk soalnya yang ketujuh, ia memalingkan muka ke samping kanan. Syifa kaget. Dilihatnya teman yang selama ini ber-IPK bagus. Yang nilai Indeks prestasi Akademiknya di atas Syifa, tengah membuka catatan. Dan dengan santainya menyelipkan kertas yang dikenali Syifa sebagai guntingan handout yang sudah dijepret rapi di balik kertas ujiannya.

Syifa memandang ke depan di kursi dosen. Dosen wanita di depannya tengah membaca sebuah majalah wanita. Syifa menggeleng heran. Ia bimbang. Apakah kejadian ini harus di adukannya? Sesaat Syifa hendak beranjak dari kursinya, tapi ia urung melakukannya. Tiba-tiba ia teringat sebuah ayat yang tadi shubuh ia baca, Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam " (QS. Al-An'aam 162). Syifa takut kalau dia mengadu, itu bukan karena ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, tapi lebih karena kemarahan dan kekecewaan di hatinya. Syifa tersadar dan segera beristighfar.

Syifa kembali menekuni kertas ujiannya. Ia menahan diri untuk menoleh lagi ke sampingnya. Jarum jam di dinding tepat menunjukkan angka sembilan. Waktu ujian telah berakhir. Ia bergegas mengumpulkan kertas jawabannya dan mendekati teman yang dilihatnya ngerpek tadi.

”Lis, bisa kita bicara sebentar?”

“Ada apa?” Lisa tampak keheranan.

Syifa mulai bicara pada Lisa ketika ruangan sudah sepi. Ia menimbang apa yang harus dikatakannya.

“Begini, Lis. Aku tadi tidak sengaja melihat kamu menyalin ssesuatu dari tumpukan kertas yang aku yakin bukan kertas ujian,” ujar Syifa sambil mengamati reaksi Lisa. Tak disangka, Lisa dengan santainya berkata,

“Terus kenapa? Mau ngadu?” kata Lisa menantang.

“Tidak. Aku tidak akan mengadukanmu. Aku yakin Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan aku juga yakin bahwa setiap perbuatan ada balasannya,” kata Syifa tegas.

”Jadi kamu cuma ingin menceramahiku?” Lisa tersenyum sinis.

”Bukan. Bukan itu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa mulai hari ini, aku mencabut semua rasa kagumku untukmu. Selama ini aku belajar dengan giat karena terinspirasi olehmu. Nilai-nilaimu yang tak pernah kurang dari AB. IPK-mu yang tak pernah melesat di bawah tiga koma lima. Pribadimu yang kalem dan membuatku ingin menghilangkan sikapku yang blak-blakan dan meledak-ledak. Semua dari dirimu menginspirasiku. Tapi itu dulu. Sekarang aku sadar bahwa aku salah menilaimu.” Syifa mengakhiri kata-katanya dan dengan mantap berjalan melewati pintu. Lisa terpaku di tempatnya.

Keesokan harinya, Syifa menunggu Lani di depan ruangan ujian mata kuliah Biodiversitas ketika Lisa datang mendekatinya. Lisa memandang Syifa. “Apa kita bisa bicara sebentar? Ujianmu kan masih sepuluh menit lagi.”

Syifa mengangguk. Ia mengikuti Lisa dari belakang dan berbelok ke lorong yang tidak biasa dilewati mahasiswa. Sampai di ujung lorong, Lisa berbalik menghadap Syifa dan berkata, ”Aku menyesal Syifa. Tadi malam aku ketiduran karena kelelahan. Waktu bangun keesokan harinya, aku sadar kalau belajarku belum selesai. Aku terpaksa menggunting handout kecil-kecil agar mudah membukanya saat ujian. Aku takut nilaiku jeblok, Syifa. Aku tidak terbiasa mendapat nilai jelek. Aku malu.”

”Tapi itu bukan alasan untukmu melakukannya.”

”Aku tahu. Ini pertama kalinya aku melakukannya. Dan sekarang aku menyesal. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya, Syifa?”

”Aku punya dua pilihan untukmu. Pertama, kamu menemui dosen Evolusi dan berkata sebenarnya lalu meminta ujian ulang. Aku tahu kamu pasti merasa malu di hadapan Bu Dosen, tapi di hadapan Allah kamu mulia. Karena tidak ada manusia yang steril dari dosa, Lisa. Yang membedakan manusia buruk dan manusia baik, adalah keputusannya untuk memperbaiki kesalahan.

Pilihan kedua, kita anggap masalah ini selesai sampai di sini. Aku tidak akan pernah mengatakan ini pada siapa pun. Kamu tidak akan merasa malu di hadapan Dosen. Tapi di mata Allah kamu kalah. Kalah oleh hawa nafsumu. Sekarang terserah padamu, Lisa. Tapi ingatlah. Bukan kemampuan yang dimiliki seseorang yang menunjukkan siapa dirinya, tapi pilihan yang dia ambillah yang bisa menunjukkan siapa dia sebenarnya.”

Syifa bergegas ke ruang ujian setelah Lisa memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Dan Lisa berbelok ke kanan menuju tangga yang akan mengantarnya ke ruang Dosen Evolusi. Syifa mengintip temannya itu dari balik tirai jendala ruang ujian. Ia tersenyum.

Label:

Cerpen: Kisah Kematian

Ombak tergulung di pantai menyeringai tajam ke arahku, disusul riak yang berdesir menyapu kakiku yang telanjang. Sepertinya ombak itu mengerti suasana hatiku saat ini yang sedang galau. Belum pernah aku merasakan hal ini sebelumnya. Ada sesuatu. Sesuatu yang.. Ah entahlah!. Aku bingung harus berbuat apa. Sementara otakku berpikir keras mataku nanar menerawang hingga titik perspektif pantai. Akalku mengembara kembali ke memori saat itu…

Malam itu langit sangat cerah. Aku dan sahabatku, Feti, baru saja kembali dari pesta ulang tahun teman sekelasku. Tidak seperti biasanya, malam itu jalanan agak lengang dari deru kendaraan yang biasanya lalu lalang. Kami berjalan sambil tertawa lepas saking gembiranya karena aku baru saja mendapat doorprise pada acara ulang tahun tersebut. Di sepanjang jalan aku dan Feti bercanda dan membicarakan kejadian di pesta tadi dengan penuh minat. Kami sampai terlupa bahwa kami telah berada di tengah jalan hingga tiba-tiba ada cahaya menyilaukan yang menuju ke arah kami dan…

“Brakk!!”

Sebuah Jaguar hitam mengkilat berhenti dan kemudian seorang laki-laki paruh baya keluar dari mobil dengan wajah tegang dan berkeringat dingin. Sementara itu, seorang gadis yang masih memakai gaun pesta, terkapar tak bergeming bersimbah darah diiringi tangis nyaring seorang gadis yang lain, yang juga memakai gaun pesta. Laki-laki paruh baya kelihatan sangat panik dan kemudian mulai berbicara dengan seseorang dibalik telepon genggamnya. Aku yang sedari tadi berteriak-teriak ingin menawarkan bantuan tak dihiraukan oleh keduanya seakan-akan mereka tidak melihatku. Mungkin mereka terlampau sibuk saat ini, pikirku. Tapi tunggu dulu… sepertinya aku mengenal gadis yang tersedu sedan itu. Bukankah dia Feti, sahabatku? Dan gadis yang tergolek di atas aspal jalan itu… Ya Tuhan, itu tidak… itu tidak mungkin terjadi! Gadis itu…Aku?. Kemudian aku merasakan sensasi aneh di sekelilingku. Aku merasa hawa dingin merasuk menusuk tulangku. Suara lengkingan sirine ambulan meraung-raung seakan mengejekku. AKU TIDAK MAU !! Aku …tidak mau mati……………….!!

###

“Tidak……..!!” Aku terbangun dari tidur panjangku. Sekujur tubuhku terasa tertusuk-tusuk menyakitkan. Aku terbaring diatas ranjang sempit dengan memakai piyama putih. Seluruh ruangan terlihat putih, kukira tidak ada satupun benda di ruangan ini yang tidak berwarna putih. Dinding, seprei, bantal, korden dan bahkan lampu pun bercahaya putih. Di mana aku sekarang berada?. Jangan-jangan aku memang benar-benar sudah mati dan ini pasti alam kematian.

“Tok..tok..tok..!” S.. suara apa itu?. Sepertinya ada yang mengetuk pintu. Apakah itu malaikat yang akan menginterogasiku? Aduh, bagaimana ini? Aku takut.

“Tok..tok..tok..!” suara itu terdengar lagi. Aku harus sembunyi. Selimut putih yang tergeletak di atas ranjang kutarik lalu ku lingkupkan ke tubuh dan wajahku. Pintu terbuka. Terdengar suara derap langkah memasuki ruangan. Samar-samar kulihat bayangan tubuh dari balik selimut putih yang tipis. Sepertinya itu sosok seorang laki-laki. Ketakutan mulai menguasai diriku. Jantungku berdegup kencang ketika sosok itu mendekatiku. Sebuah tangan terjulur hendak menjangkau selimut yang menutupiku. Aku sangat gugup dan kupejamkan mataku. Bagian selimut yang menutupi wajahku terbuka. Aku menjerit sekeras-kerasnya hingga suaraku tercekat.

“Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu.” Kata sosok itu. Aku tidak begitu saja percaya. Beberapa waktu kemudian tidak ada suara apapun. Sunyi. Setelah yakin sosok itu telah pergi, aku membuka mataku. Tapi ternyata kudapati seorang lelaki berbaju putih telah berdiri didepanku.

“Anda baik-baik saja ?”

“Siapa kamu? Dimana saya ?”

“Anda dirumah sakit.”

“Rumah sakit ? Jadi saya belum mati ?”

###

Aku tidak mati. Setidaknya belum. Ternyata aku hanya terserempet mobil pada malam itu. Satu hal yang membuatku bingung adalah pada saat itu kenapa aku bisa melihat diriku sendiri terkapar di atas aspal jalan. Dua bulan telah berlalu dan aku belum menemukan jawabannya. Aku takut sekali kalau hari itu benar-benar terjadi. Hari dimana aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Hari dimana aku harus mati. Mati. Aku merinding memikirkan kata itu. Aku belum siap jika dosa-dosaku di perhitungkan. Aku belum siap jika amalanku yang tidak seberapa ini di pertanyakan. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mulai memperbaiki diri. Karena kejadian itu sekarang aku memakai jilbab, sesuatu yang seharusnya kulakukan dari dulu. Karena kejadian itu juga sekarang aku tidak pernah lagi menunda waktu sholat. Mungkin dengan cara inilah Allah mengingatkan aku tentang arti kehidupan. Karena kematian adalah bagian dari kehidupan.

Label:

Manajemen Stress

Ada petikan kisah Steven R Covey pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress...

Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: “Menurut anda, kira-kira seberapa beratnya segelas air ini?” Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr. “Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya.” kata Covey.

“Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat.”

“Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya.” lanjut Covey.

“Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi”. Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik,
agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.”

Kisah tersebut menginspirasi kita bahwa sebesar apapun beban masalah yang sedang kita tanggung, hal itu itu tidak akan menjadi lebih berat jika kita istirahat sejenak dan melihat dari sudut pandang berbeda, bahwa tidaklah Allah memberikan suatu masalah atau kesulitan melebihi kemampuan hamba-Nya dan janganlah lupa bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Karena itu mari kita buka pikiran dan menjalani hidup ini dengan penuh semangat dan penuh keyakinan. Key...


Label: