Kamis, 29 Mei 2008

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna (2)

Bagian 2

Pagi hari yang cerah. Eri membuka jendela kamarnya. Spontan, tangan kanannya menutupi mata dari sinar matahari yang menyelusup ke kamar. Ah, alangkah senangnya kalau masa liburan belum habis. Hari secerah ini, paling enak kalau ke pantai. Eri tersenyum memandang jam di dinding. “Ah, masih jam setengah sembilan. Masih banyak waktu untuk berkemas,” pikirnya.

Setiap libur panjang tiba, Eri selalu pulang ke desa yang sudah ditinggalinya sejak lahir. Eri bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Nama desa itu Ujungpangkah. Sebuah desa di ujung timur pulau jawa. Desa ini bisa ditempuh dengan dua jam perjalanan dari Surabaya. Dan tempat favoritnya adalah pantai Ngemboh yang menyisakan banyak kenangan. Pada saat air surut, Eri dan kawan-kawannya suka berenang bersama, mencari keong yang bersembunyi di balik batu karang, atau sekedar menangkapi ubur-ubur yang melayang-layang terseret arus. Kadang-kadang, bapak mengajak Eri menguras perahu setelah melaut semalaman. Setelah itu, Bapak akan mengajak Eri jalan-jalan dengan perahunya menyusuri rawa-rawa. Komunitas mangrove dari berbagai spesies tumbuh lebat di kanan kiri rawa. Di antara pohon bakau banyak ikan blodok melompat dan bermanuver menembus lumpur. Dari berbagai jenis burung yang bisa dijumpainya, Eri selalu takjub dengan burung bangau yang memenuhi paruh panjangnya dengan ikan yang baru ditangkapnya. Di ujung rawa, ada lautan luas yang menyambutnya. Membuatnya merasa kecil di tengah besarnya kuasa Tuhan. Sesekali Eri bisa melihat elang di angkasa. Bapak selalu bilang, laut adalah salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan. Di laut, bapak bisa merasakan penghambaan alam pada Tuhannya. Mulai dari angin, ombak, bahkan tumbuhan dan hewan yang hidup di laut dan sekitarnya. Eri tersenyum mengingat kilas balik masa kecilnya.

Eri berganti baju dan duduk di meja makan di dapurnya yang tidak bisa dibilang luas. Meskipun sederhana, Eri selalu merindukan rumah ini kalau sudah berada lama di kota rantaunya. Yah, walaupun jarak antara desanya dengan kota tempat ia menuntut ilmu cuma dua jam perjalanan, ia tidak bisa sering-sering pulang ke desanya yang indah ini. Biaya transport bolak-balik cukup untuk delapan kali makan. Wah…Eri tidak setega itu pada Emak.

Wis, ndang makan. Arek wedhok, kok, pencilaan aendhukndhuk…” Kata Emak. Eri nyengir. Makan dengan lahap.

“Kamu wis berkemas opo durung?” tanya Emak.

“Entar ae, mak. Aku lagi pengen ke pantai, nih.” jawab Eri sekenanya.

Opo! Kebiasaan kamu, itu! Berkemas dulu, baru jalan-jalan!” Emak mulai habis kesabaran. Eri sudah mau membuka mulut untuk menjawab, tapi Emak keburu menambahkan, “Habis Ashar, kan, kamu sudah harus berangkat. Berkemas sekarang! Kalau tidak, pasti nanti kelabakan. Dan pasti nanti Emak yang repot!”

Eri manyun. Sambil mendengus, ia bergegas ke kamar untuk berkemas. Kali ini ia harus mengalah dan menjalankan semua kata-kata Emak. Kalau tidak, Eri tidak akan bisa ke pantai dan Emak akan mengiringi kepergiannya dengan paket omelan spesial, tapi nggak pake telur.

Eri keluar rumah hendak pergi ke pantai, tapi urung dilakukannya. Eri melihat bapaknya pulang dari melaut. Eri berlari menyongsong bapaknya. Bapak Eri geleng-geleng kepala, menyaksikan tingkah anak perempuannya ini. Salah Bapak juga, pikirnya. Karena terlalu terobsesi memiliki anak laki-laki, Bapak jadi mendidik Eri seperti anak laki-laki. Dan sekarang setelah melihat Eri beranjak dewasa, Bapak jadi menyesal. Apa ada laki-laki yang mau memperistri Eri yah?, pikirnya.

“Woi, Bapak, kok, melamun? Hayo…habis ketemu sama putri duyung ya…sampai linglung githu…” Eri menggoda Bapak.

Eri dan Bapak masuk ke rumah. Emak yang mendengar kedatangan Bapak, segera menyiapkan kopi dan pisang kentaki yang tadi digorengnya. Bapak duduk di meja makan dan menyeruput kopinya.

“Gimana, hasilnya, Pak?” Tanya Emak.

Alhamdulillah, Mak. Ikan yang Bapak tangkap bisa dijual dengan harga seratus dua puluh ribu. Dibagi sama Tarjo, jadi Bapak dapat enam puluh ribu. Cukuplah buat makan dan tambahan uang saku Eri.” jelas Bapak sambil menyerahkan tiga lembar dua puluh ribuan. Karena Bapak pemilik perahu dan jaring, jadi bapak dapat bagian dua per tiga. Bapak mengambil pisang kentaki dan memakannya.

”Wah, enak juga pisangnya, Mak.” Bapak memperbaiki posisi duduknya dan melanjutkan, “Ombaknya lagi besar di laut. Anginnya kencang sekali. Hampir saja perahu Bapak oleng tadi malam.”

Astaghfirullah! Alhamdulillah, Bapak selamat ya, Pak,” sahut Emak.

Eri yang sedari tadi diam, mendengarkan dengan seksama. Di saat-saat seperti ini timbul perasaan kagum pada Bapak. Bapak dengan garis wajah yang tajam serta kulitnya yang coklat tua dan kasar karena terlalu lama terkena sinar matahari dan asinnya air laut, menyimpan keteduhan di matanya. Sebesar atau sekecil apapun hasil tangkapan Bapak, ia selalu bersyukur. Karena itu, Eri berjanji pada dirinya sendiri akan belajar dengan giat.

Eri benar-benar tak jadi ke pantai. Bukan karena Bapak bilang ombaknya sedang besar di laut. Tapi karena Eri ingin lebih banyak menikmati sisa liburan ini bersama orangtua yang sangat dicintainya itu. Emak yang baik hati dan sabar dibalik kecerewetannya. Bapak yang bijaksana dibalik tampangnya yang garang. Ah, rasanya tak ada orang seberuntung Eri. Yang memiliki kedua orangtua seperti mereka. Kesederhanaan dan kesahajaan orang tuanya lah yang membuat Eri tumbuh menjadi gadis periang.

Setelah sholat dhuhur, Eri mengantuk. Kelelahan sehabis berkemas dan membantu Emak di dapur. Hujan tiba-tiba mengguyur desa. Tanpa aba-aba gerimis, atau mendung sebagai peringatan. Emak berlari keluar mengambil jemuran dengan sembarangan. Halilintar menggelegar tanpa tedeng aling-aling. Eri terlonjak saking kagetnya. Sambil memegang liontin bertuliskan namanya yang terkalung di lehernya, ia mencoba mengingat kembali mimpinya. Masih mimpi yang sama. Mimpi tentang sebuah pondok kecil di hutan yang gelap. Ada suara tangisan bayi di sana. Ah, entah apalagi. Eri tak dapat mengingat seluruh sketsa mimpinya. Tapi satu hal yang Eri yakin, suasananya, atmosfirnya sama seperti keadaan cuaca hari ini. Hujan deras disertai petir dan halilintar yang saling berebut untuk memuntahkan gemuruhnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda