Kamis, 29 Mei 2008

Cerpen: Kisah Kematian

Ombak tergulung di pantai menyeringai tajam ke arahku, disusul riak yang berdesir menyapu kakiku yang telanjang. Sepertinya ombak itu mengerti suasana hatiku saat ini yang sedang galau. Belum pernah aku merasakan hal ini sebelumnya. Ada sesuatu. Sesuatu yang.. Ah entahlah!. Aku bingung harus berbuat apa. Sementara otakku berpikir keras mataku nanar menerawang hingga titik perspektif pantai. Akalku mengembara kembali ke memori saat itu…

Malam itu langit sangat cerah. Aku dan sahabatku, Feti, baru saja kembali dari pesta ulang tahun teman sekelasku. Tidak seperti biasanya, malam itu jalanan agak lengang dari deru kendaraan yang biasanya lalu lalang. Kami berjalan sambil tertawa lepas saking gembiranya karena aku baru saja mendapat doorprise pada acara ulang tahun tersebut. Di sepanjang jalan aku dan Feti bercanda dan membicarakan kejadian di pesta tadi dengan penuh minat. Kami sampai terlupa bahwa kami telah berada di tengah jalan hingga tiba-tiba ada cahaya menyilaukan yang menuju ke arah kami dan…

“Brakk!!”

Sebuah Jaguar hitam mengkilat berhenti dan kemudian seorang laki-laki paruh baya keluar dari mobil dengan wajah tegang dan berkeringat dingin. Sementara itu, seorang gadis yang masih memakai gaun pesta, terkapar tak bergeming bersimbah darah diiringi tangis nyaring seorang gadis yang lain, yang juga memakai gaun pesta. Laki-laki paruh baya kelihatan sangat panik dan kemudian mulai berbicara dengan seseorang dibalik telepon genggamnya. Aku yang sedari tadi berteriak-teriak ingin menawarkan bantuan tak dihiraukan oleh keduanya seakan-akan mereka tidak melihatku. Mungkin mereka terlampau sibuk saat ini, pikirku. Tapi tunggu dulu… sepertinya aku mengenal gadis yang tersedu sedan itu. Bukankah dia Feti, sahabatku? Dan gadis yang tergolek di atas aspal jalan itu… Ya Tuhan, itu tidak… itu tidak mungkin terjadi! Gadis itu…Aku?. Kemudian aku merasakan sensasi aneh di sekelilingku. Aku merasa hawa dingin merasuk menusuk tulangku. Suara lengkingan sirine ambulan meraung-raung seakan mengejekku. AKU TIDAK MAU !! Aku …tidak mau mati……………….!!

###

“Tidak……..!!” Aku terbangun dari tidur panjangku. Sekujur tubuhku terasa tertusuk-tusuk menyakitkan. Aku terbaring diatas ranjang sempit dengan memakai piyama putih. Seluruh ruangan terlihat putih, kukira tidak ada satupun benda di ruangan ini yang tidak berwarna putih. Dinding, seprei, bantal, korden dan bahkan lampu pun bercahaya putih. Di mana aku sekarang berada?. Jangan-jangan aku memang benar-benar sudah mati dan ini pasti alam kematian.

“Tok..tok..tok..!” S.. suara apa itu?. Sepertinya ada yang mengetuk pintu. Apakah itu malaikat yang akan menginterogasiku? Aduh, bagaimana ini? Aku takut.

“Tok..tok..tok..!” suara itu terdengar lagi. Aku harus sembunyi. Selimut putih yang tergeletak di atas ranjang kutarik lalu ku lingkupkan ke tubuh dan wajahku. Pintu terbuka. Terdengar suara derap langkah memasuki ruangan. Samar-samar kulihat bayangan tubuh dari balik selimut putih yang tipis. Sepertinya itu sosok seorang laki-laki. Ketakutan mulai menguasai diriku. Jantungku berdegup kencang ketika sosok itu mendekatiku. Sebuah tangan terjulur hendak menjangkau selimut yang menutupiku. Aku sangat gugup dan kupejamkan mataku. Bagian selimut yang menutupi wajahku terbuka. Aku menjerit sekeras-kerasnya hingga suaraku tercekat.

“Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu.” Kata sosok itu. Aku tidak begitu saja percaya. Beberapa waktu kemudian tidak ada suara apapun. Sunyi. Setelah yakin sosok itu telah pergi, aku membuka mataku. Tapi ternyata kudapati seorang lelaki berbaju putih telah berdiri didepanku.

“Anda baik-baik saja ?”

“Siapa kamu? Dimana saya ?”

“Anda dirumah sakit.”

“Rumah sakit ? Jadi saya belum mati ?”

###

Aku tidak mati. Setidaknya belum. Ternyata aku hanya terserempet mobil pada malam itu. Satu hal yang membuatku bingung adalah pada saat itu kenapa aku bisa melihat diriku sendiri terkapar di atas aspal jalan. Dua bulan telah berlalu dan aku belum menemukan jawabannya. Aku takut sekali kalau hari itu benar-benar terjadi. Hari dimana aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Hari dimana aku harus mati. Mati. Aku merinding memikirkan kata itu. Aku belum siap jika dosa-dosaku di perhitungkan. Aku belum siap jika amalanku yang tidak seberapa ini di pertanyakan. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mulai memperbaiki diri. Karena kejadian itu sekarang aku memakai jilbab, sesuatu yang seharusnya kulakukan dari dulu. Karena kejadian itu juga sekarang aku tidak pernah lagi menunda waktu sholat. Mungkin dengan cara inilah Allah mengingatkan aku tentang arti kehidupan. Karena kematian adalah bagian dari kehidupan.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda