Kamis, 29 Mei 2008

Cerpen: Kerpekan Mini

“Syifaa........cepetan......!” Lani berteriak garang di depan pintu kos Syifa. Syifa terpaksa menyelesaikan sarapannya dengan terburu-buru.

“Ya, bentar.....! Duh, ni anak emang kebangetan. Kalau ujian aja maunya berangkat pagi-pagi. Tapi kalau hari-hari biasa sukanya telat,” omel Syifa tak kalah garangnya. Hari ini Syifa memakai baju lengan panjang berwarna ungu muda, warna kesukaannya. Jilbabnya putih bermotif bunga lavender kecil-kecil berkibar membalut mahkotnya.

Kedua gadis itu bergegas menuju kampus yang tidak jauh dari kosnya. Mia sangat bersyukur mendapat kos di dekat kampus hingga tidak perlu memakan banyak waktu pada saat seperti ini. Mereka tiba di ruang 122 di lantai satu kampusnya. Syifa mengambil kursi di depan dan Lani lebih memilih di deretan bangku ketiga dari depan. Syifa senang karena sebagian besar mahasiswa yang datang duluan telah mengambil tempat di belakang sehingga tempat favoritnya di depan masih kosong.

Hari ini ada ujian mata kuliah Evolusi. Mata kuliah yang paling disenangi Syifa. Dosen memasuki ruangan dan seketika para mahasiswa yang gaduh pun terdiam. Dosen membagikan lembar soal ujian dan jawabannya. Syifa mengamati lembar soal di mejanya. Tipe soalnya Essay, atau jawaban panjang. Ada sepuluh soal yang harus diselesaikan dalam waktu 60 menit. Berarti setiap soal harus diselesaikan dalam waktu enam menit.

Lima menit berlalu semua wajah terpaku di mejanya masing-masing. Sepuluh menit berlalu keadaan masih sama. Lima belas menit berlalu, terdengar gesekan beberapa mahasiswa yang membenahi posisi duduknya. Tiga puluh menit berlalu disaat Syifa tengah memikirkan jawaban untuk soalnya yang ketujuh, ia memalingkan muka ke samping kanan. Syifa kaget. Dilihatnya teman yang selama ini ber-IPK bagus. Yang nilai Indeks prestasi Akademiknya di atas Syifa, tengah membuka catatan. Dan dengan santainya menyelipkan kertas yang dikenali Syifa sebagai guntingan handout yang sudah dijepret rapi di balik kertas ujiannya.

Syifa memandang ke depan di kursi dosen. Dosen wanita di depannya tengah membaca sebuah majalah wanita. Syifa menggeleng heran. Ia bimbang. Apakah kejadian ini harus di adukannya? Sesaat Syifa hendak beranjak dari kursinya, tapi ia urung melakukannya. Tiba-tiba ia teringat sebuah ayat yang tadi shubuh ia baca, Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam " (QS. Al-An'aam 162). Syifa takut kalau dia mengadu, itu bukan karena ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, tapi lebih karena kemarahan dan kekecewaan di hatinya. Syifa tersadar dan segera beristighfar.

Syifa kembali menekuni kertas ujiannya. Ia menahan diri untuk menoleh lagi ke sampingnya. Jarum jam di dinding tepat menunjukkan angka sembilan. Waktu ujian telah berakhir. Ia bergegas mengumpulkan kertas jawabannya dan mendekati teman yang dilihatnya ngerpek tadi.

”Lis, bisa kita bicara sebentar?”

“Ada apa?” Lisa tampak keheranan.

Syifa mulai bicara pada Lisa ketika ruangan sudah sepi. Ia menimbang apa yang harus dikatakannya.

“Begini, Lis. Aku tadi tidak sengaja melihat kamu menyalin ssesuatu dari tumpukan kertas yang aku yakin bukan kertas ujian,” ujar Syifa sambil mengamati reaksi Lisa. Tak disangka, Lisa dengan santainya berkata,

“Terus kenapa? Mau ngadu?” kata Lisa menantang.

“Tidak. Aku tidak akan mengadukanmu. Aku yakin Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan aku juga yakin bahwa setiap perbuatan ada balasannya,” kata Syifa tegas.

”Jadi kamu cuma ingin menceramahiku?” Lisa tersenyum sinis.

”Bukan. Bukan itu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa mulai hari ini, aku mencabut semua rasa kagumku untukmu. Selama ini aku belajar dengan giat karena terinspirasi olehmu. Nilai-nilaimu yang tak pernah kurang dari AB. IPK-mu yang tak pernah melesat di bawah tiga koma lima. Pribadimu yang kalem dan membuatku ingin menghilangkan sikapku yang blak-blakan dan meledak-ledak. Semua dari dirimu menginspirasiku. Tapi itu dulu. Sekarang aku sadar bahwa aku salah menilaimu.” Syifa mengakhiri kata-katanya dan dengan mantap berjalan melewati pintu. Lisa terpaku di tempatnya.

Keesokan harinya, Syifa menunggu Lani di depan ruangan ujian mata kuliah Biodiversitas ketika Lisa datang mendekatinya. Lisa memandang Syifa. “Apa kita bisa bicara sebentar? Ujianmu kan masih sepuluh menit lagi.”

Syifa mengangguk. Ia mengikuti Lisa dari belakang dan berbelok ke lorong yang tidak biasa dilewati mahasiswa. Sampai di ujung lorong, Lisa berbalik menghadap Syifa dan berkata, ”Aku menyesal Syifa. Tadi malam aku ketiduran karena kelelahan. Waktu bangun keesokan harinya, aku sadar kalau belajarku belum selesai. Aku terpaksa menggunting handout kecil-kecil agar mudah membukanya saat ujian. Aku takut nilaiku jeblok, Syifa. Aku tidak terbiasa mendapat nilai jelek. Aku malu.”

”Tapi itu bukan alasan untukmu melakukannya.”

”Aku tahu. Ini pertama kalinya aku melakukannya. Dan sekarang aku menyesal. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya, Syifa?”

”Aku punya dua pilihan untukmu. Pertama, kamu menemui dosen Evolusi dan berkata sebenarnya lalu meminta ujian ulang. Aku tahu kamu pasti merasa malu di hadapan Bu Dosen, tapi di hadapan Allah kamu mulia. Karena tidak ada manusia yang steril dari dosa, Lisa. Yang membedakan manusia buruk dan manusia baik, adalah keputusannya untuk memperbaiki kesalahan.

Pilihan kedua, kita anggap masalah ini selesai sampai di sini. Aku tidak akan pernah mengatakan ini pada siapa pun. Kamu tidak akan merasa malu di hadapan Dosen. Tapi di mata Allah kamu kalah. Kalah oleh hawa nafsumu. Sekarang terserah padamu, Lisa. Tapi ingatlah. Bukan kemampuan yang dimiliki seseorang yang menunjukkan siapa dirinya, tapi pilihan yang dia ambillah yang bisa menunjukkan siapa dia sebenarnya.”

Syifa bergegas ke ruang ujian setelah Lisa memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Dan Lisa berbelok ke kanan menuju tangga yang akan mengantarnya ke ruang Dosen Evolusi. Syifa mengintip temannya itu dari balik tirai jendala ruang ujian. Ia tersenyum.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda