Kamis, 29 Mei 2008

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna (3)

Bagian 3

Pukul empat sore, hujan mulai reda. Eri bersiap untuk berangkat ke kota tempatnya menuntut ilmu. Eri kuliah di sebuah universitas negeri di Surabaya. Hanya karena mendapat beasiswa, Eri bisa kuliah. Bapak dan Emak tidak punya cukup uang untuk membiayai kuliahnya. Meskipun terkenal nakal dan jahil, Eri memiliki otak yang cerdas. Selain itu, Eri berbakat memikat orang lain dengan kata-katanya. Eri tidak akan kehabisan bahan pembicaraan dengan orang lain. Eri memang cepat akrab dan menyesuaikan diri. Bisa dibilang dia memiliki bakat SKSD, atau Sok Kenal Sok Dekat. Pernah guru Bimbingan Konselingnya di SMA, menasehatinya untuk memilih jurusan Komunikasi atau Hubungan Internasional. Eri berbakat di dunia politik maupun kediplomatan. Tetapi, Eri lebih memilih jurusan yang membuatnya merasa bahagia, seperti di desanya sendiri. Jurusan Biologi lah yang dipilih Eri.

Sebelum berangkat, Eri berinisiatif untuk buang air kecil, sebelum kerepotan nanti di jalan. Eri menuju kamar mandi di dekat dapur dan melewati kamar Emak dan Bapak. Sejenak Eri berhenti ketika mendengar namanya disebut.

Eri menempelkan kupingnya ke pintu kamar orangtuanya yang terbuat dari papan. Terdengar oleh Eri suara Emak, ”Ndak terasa, dua puluh tahun telah berlalu. Dan sekarang Eri sudah besar ya, Pak.”

”Iya, Bu. Bapak sangat bersyukur punya anak seperti Eri,” timpal Bapak.

Eri yang mendengar pujian itu ditujukkan untuk dirinya, tersenyum bahagia. Kemudian terdengar suara lemari dibuka.

”Emak juga bersyukur, Pak. Meskipun Eri bukan anak kandung kita, tapi Emak sayang sekali sama anak itu. Jahilnya, itu lho, ngangenin.”

Bapak tertawa. Tapi hati Eri sakit. Sakit sekali. Jadi, dia bukan anak kandung Emak dan bapak? Lalu, siapa orang tua kandungnya? Eri terpaku hingga tak sadar pintu kamar telah terbuka. Emak dan Bapak kaget bukan main melihat anak mereka mendengar rahasia yang selama ini sudah mereka sembunyikan.

Ketiga orang itu duduk mengelilingi meja makan di dapur. Tidak ada yang bicara. Eri ingin sekali berteriak, tapi tenggorokannya tercekat. Kemudian Bapak memulai pembicaraan, “Begini, ndhuk. Kamu jangan salah paham dulu. Emak dan Bapak sangat menyayangi kamu.”

“Eri tahu, Pak. Eri tak pernah sedikitpun meragukan itu. Eri Cuma ingin tahu, siapa sebenarnya orang tua kandung Eri!” Tak sadar Eri berteriak. Sebelum ini, tak pernah sekalipun Eri berani membentak orang tuanya. Sejahil apa pun Eri, tak akan pernah ia berani berkata keras pada orang tuanya.

Bapak menghela napas. Emak mulai berkaca-kaca.

”Baiklah, Bapak akan menceritakan segalanya padamu, ndhuk. Dua puluh satu tahun yang lalu, kami masih bekerja di sebuah rumah milik keluarga Sukarta di Surabaya. Emak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dan Bapak sebagai sopir. Semuanya baik-baik saja, hingga suatu hari terjadi pertengkaran hebat antara Tuan Besar dengan Non Liana. Non Liana dipukul oleh Tuan Besar dan diseret keluar dari rumah. Non Liana diusir dari rumah karena hamil diluar nikah. Emak dan Bapak tidak tega melihat Non Liana diperlakukan seperti itu. Selama ini, Non Liana selalu baik sama kami, berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain, yang sering memperlakukan kami seperti budak.

Kami tidak percaya Non Liana yang selalu rajin sholat bisa berbuat seperti itu. Kemudian kami membawa Non Liana pergi ke rumah orang tua Bapak di desa ini. Kebetulan rumah ini kosong setelah ditinggalkan oleh penyewa sebelumnya. Kami merawat Non Liana hingga kandungannya membesar. Selama dia tinggal di sini, Non Liana tidak pernah tersenyum. Dia selalu terlihat murung. Kami tidak tega melihat Non Liana seperti itu. Saat kandungannya sudah mencapai hampir sembilan bulan, tiba-tiba kami harus melayat ke kampung sebelah, terpaksa Non Liana kami tinggalkan sendiri. Kami pikir, kami hanya sebentar di sana. Saat kami kembali, ternyata Non Liana sudah melahirkan kamu, ndhuk. Tanpa bantuan bidan maupun dukun beranak. Kami jadi merasa sangat bersalah telah meninggalkannya.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Non Liana mengatakan sesuatu pada kami bahwa kami harus memberi nama kamu Eri, seperti yang tertulis di kalungmu itu. Non Liana bersumpah bahwa dia tidak pernah berzina. Dia diperkosa. Tapi orang tuanya tidak mau tahu. Orang tuanya malu kalau aib itu sampai ketahuan orang lain. Non Liana tidak kenal siapa laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya. Tapi, Non Liana berhati besar. Dia tidak pernah sekalipun berniat menggugurkan kandungannya. Baginya, bayi adalah makhluk suci yang tidak bedosa. Ibumu orang baik, ndhuk.” Bapak mengakhiri ceritanya. Emak menangis tersedu sedan. Eri bingung harus berkata apa. Ia, anak hasil perkosaan? Ya, Allah inikah hukuman atas semua kenakalan dan kejahilanku? Eri menangis dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Eri marah. Eri ingin sekali membunuh laki-laki itu. Yang menyebabkan penderitaan ibu kandungnya. Ibu? Eri bahkan tidak tahu wajahnya. Eri tidak pernah mengenalnya.

Eri mendongak menatap kedua orang yang sudah dianggapnya orang tua kandung. Emak masih menangis dan Bapak kelihatan berkaca-kaca. Eri masih marah, tapi ia mulai menguasai dirinya. Bibir Eri bergetar saat bicara, ”Pak, apakah Bapak punya foto ibu kandung Eri?”

Bapak terkaget mendengar ucapan Eri. Bapak kira, Eri akan mengamuk atau memarahi mereka karena menyembunyikan semuanya ini darinya setelah sekian lama. Bapak beranjak dari kursi dan menuju kamarnya. Saat kembali, Bapak membawa selembar kertas usang yang pinggirnya sudah sobek-sobek. Bapak menyerahkan foto itu ke tangan Eri. Eri menerimanya dengan tangan gemetar. Eri membalik foto itu dan melihat seorang perempuan cantik dengan memakai toga. Kulitnya putih, berbeda dengan kulit Eri. Tapi, matanya. Matanya sama dengan mata Eri. Mata coklat yang menawan. Inikah ibunya? Air mata Eri membasahi kertas itu.

Suara klakson sepeda motor, memecah keheningan. Eri bangkit di ikuti Bapak dan emak.

”Bolehkah Eri menyimpan foto ini, Pak?” kata Eri sambil menghapus air matanya. Bapak mengangguk pelan.

Sesampainya di pintu depan Eri berbalik dan berkata, ” Terima kasih, Pak, Mak. Atas semuanya. Eri minta maaf kalau selama ini Eri sering berbuat salah sama Bapak, terutama Emak.” Tangis Emak pecah lagi.

”Jangan bicara begitu, ndhuk. Kami ini masih orang tuamu. Setidaknya orang tua yang membesarkanmu. Kau lebih dari seorang anak bagi kami. Kau permata hidup kami.” Emak berkata di sela-sela tangisnya.

Eri tak tahan lagi. Eri keluar rumah dengan memanggul ranselnya yang menggelembung. Berisi beberapa potong baju dan bukunya, serta segala macam makanan yang bisa dijejalkan Emak ke dalamnya. Eri mencium tangan Emak dan Bapak dengan takzim, sebulan lagi Eri baru bisa mencium tangan-tangan itu lagi. Air mata Emak bercucuran, mata Eri berkaca-kaca. Eri cepat-cepat menaiki ojek yang sudah di pesan oleh Bapak. Sebelum berbelok, Eri menoleh ke belakang, menyaksikan bahu Emak berguncang dalam rangkulan Bapak. Bapak melambaikan tangan. Eri tak kuasa menahan bulir-bulir air hangat menetes di pipinya.

Dalam perjalanannya menyusuri desa, Eri merasakan sekali lagi aroma desanya. Sawah-sawah yang terbentang. Tambak-tambak ikan dan garam di kanan kiri jalan. Warung-warung kecil yang sepi. Dan peternakan ayam yang bau pun nampak indah di matanya. ”Ah, selamat tinggal desaku. Sebulan lagi aku akan kembali. Entahlah apakah aku akan kembali,” katanya pada dirinya sendiri.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda