Kamis, 29 Mei 2008

Cerpen: Perjalanan Mencari Makna

Bagian 1

Awan gelap menyelimuti langit. Air hujan membasahi bumi begitu derasnya. Petir dan halilintar saling berebut untuk memuntahkan gemuruhnya. Laut tidak mau kalah, menyumbangkan ombak yang bergulung-gulung disertai angin kencang yang suaranya menggelegar, mengatasi gemuruh petir maupun halilintar. Nuansa alam yang hadir seolah menemani kelahiran seorang bayi perempuan di sebuah gubuk kecil di tepi pantai. Malam ini, seorang perempuan muda tengah berjuang antara hidup dan mati. Demi sebuah kehidupan baru. Kehidupan yang mungkin tak diharapkan olehnya.

Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya, dengan sekuat tenaga ia hirup udara dan menghembuskannya tanpa makna. Baginya, ini hanyalah spontanitas yang mengiringi naluri seorang ibu. Ibu?. Rasanya ia begitu muak mendengar kata itu. Ia tidak pernah berharap untuk menjadi seorang ibu dari bayi yang tidak diharapkannya. Bayi dari benih seorang lelaki yang telah menghancurkan kebahagiaannya. Merenggut masa mudanya dengan sia-sia. Dan lukapun menganga. Memungkinkan lalat dan kuman berkerumun di sana. Hanya penyesalan dan kebencian yang tersisa.

Lengkingan tangis memecah keremangan malam. Petir dan halilintar kembali bergemuruh menyambut kehidupan baru di bumi. Seorang bayi perempuan yang cantik dan bermata indah telah hadir di dunia menambah satu lagi populasi manusia di bumi. Bayi itu terus saja menangis. Tergolek di atas ranjang bambu tak terjamah. Sepasang suami istri paruh baya terkaget mendapati pemandangan di depan mereka. Yang wanita, segera mengambil bayi yang telanjang dan bergegas memotong tali pusarnya, kemudian membungkusnya dengan kain sarung.

Perempuan muda itu meneteskan air mata sembari memasangkan liontin perak bertuliskan nama ’ERI’ di leher si bayi mungil. Bibir perempuan muda itu bergetar menahan air mata yang sudah mendesak keluar. Kedua pasang suami istri duduk di tepi ranjang bambu ketika perempuan muda itu mengatakan sesuatu yang selama ini tak bisa dikatakannya. Sesuatu yang menjadi sebab semuanya ini terjadi. Tiba-tiba tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Tubuhnya meregang sebelum tak sadarkan diri. Dan entah kenapa si bayi terdiam dari tangisnya. Sementara yang laki-laki, segera mendeteksi denyut di urat nadi perempuan muda. Laki-laki itu mendongak menatap istrinya, menggeleng. Dengan tangan kanannya, ia menutup mata perempuan muda.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Dan bayi perempuan itu kini telah tumbuh menjadi gadis periang dan cerdas.

“Eri…bangun…!” Emak berteriak sekuat tenaga dari dapur. “Duh, anak ini kalau ndak diguyur, ndak bakalan bangun,” tambahnya. Emak mengecilkan kompor, mengambil segayung air dari kamar mandi dan bergegas ke kamar Eri. Eri terbaring di atas ranjang sempitnya sambil memeluk guling. Ngiler. Emak tersenyum dan mulai mengguyurkan air ke mukanya.

“Ah…banjir…!!” teriak Eri lantang sekali. Eri membuka mata, memandang sekeliling dengan heran. “Kok, aku ada di kamar?” pikirnya. Rupanya Eri tak menyadari bahwa sedari tadi Emak berdiri di sampingnya sambil melotot dan berkacak pinggang.

“Mau tidur sampai kapan, HA!” Emak berusaha mengerahkan semua otot matanya untuk berkontraksi. “ Makanya, kalau habis sholat shubuh jangan tidur lagi! Jadi bangunnya ndak kesiangan!” Emak semakin membara.

“Eh, Emak…” Menyadari tanda-tanda bahaya omelan Emak yang bertubi-tubi dan hanya akan selesai tujuh hari tujuh malam, tanpa rasa bersalah Eri berlari melesat keluar kamar sambil menyambar handuk yang tersampir di gantungan baju.

EalahGusti…punya anak perawan satu, kok, bandelnya minta ampun!” keluh Emak sambil geleng-geleng.

Eri keluar dari kamar mandi sambil cengar-cengir mengingat kejadian tadi. Rambutnya yang masih basah dibungkus dengan handuk. Melihat Emak di dapur, mata Eri berkilat. Terpikir olehnya suatu ide hebat untuk membalas Emak. Emak yang tak menyadari otak jahil anak semata wayangnya, menggoreng pisang kentaki – nama khusus yang dibuat Emak untuk menyebut pisang bungkus tepung yang digoreng garing – sambil muroja’ah surat Asy Syams.

Wasyamsi wadhuhahaa…, Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,” Emak menghayati bacaannya. Di belakang Emak, Eri berjalan mengendap-endap. Dalam tayangan lambat, Eri membuka handuknya dan mulai mengibaskan rambutnya yang basah kesana kemari.

Astaghfirullah…Eri!” Emak terlonjak, terkena cipratan air dari rambut Eri. Eri tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Emak yang seperti sudah diduganya, mulai nyerocos. Ngomel bin ngedumel. Secepat kilat, Eri membuka pintu kamar dan menguncinya dari dalam. “Yes! Berhasil!” pekiknya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda